Sebuah keniscayaan memang apabila setiap jaman akan melahirkan anak
jamannya masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus
dari sejarah bangsa ini. Jika kita menilik ke belakang, dulu kaum
terpelajar yang memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan
mempunyai satu cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka dari
belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang perubahan, tidak
hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu tindakan riil
bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa rakyat yang
tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara mengorganisasikan
diri.
Tidak hanya itu, mereka juga membuat terbitan-terbitan cetak dalam
proses transformasi nilai kepada massa rakyat. Perlawanan terhadap
Belanda memasuki babak baru. Tak sekedar dengan rencong dan keris,
tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah
sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities,
menulis: Selain runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan
kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang
memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca
khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.
Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan
mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan
nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa
mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan
refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi
kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti
pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu
adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah
perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan
berkorban?
Saat negara nasibnya terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya
diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi, saat itulah maka gerakan
progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu kebutuhan mendesak.
Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai pengetahuan,
tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang
perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk
perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
Saya masih ingat jelas ungkapan satir yang pernah dituliskan Romo
Mangunwijaya: Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah
yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah
itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka.
Semoga ini bisa menjadi permenungan kita bersama – sebagai ‘intelektual
terpelajar’ – dalam merefleksikan peringatan hari Pahlawan dan mengisi
kemerdekaan ini dengan penuh makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar